22 November 2008

Pelajaran pertama tentang kepemimpinan

Seoang raja yang sudah memasuki usia senja sedang mempersiapkan putranya agar suatu ketika kelak dapat menggantikan dirinya. Ia mengirim putranya kepada seorang bijak untuk belajar mengenai kepemimpinan .

Setelah menempuh perjalanan panjang, bertemulah putra mahkota ini dengan seorang bijak. “Aku ingin belajar padamu cara memimpin bangsaku” katanya. Orang bijak menjawab, “Masuklah engkau ke dalam hutan dan tinggalah selama setahun. Engkan akan belajar mengenai kepemimpinan.”

Setahun berlalu, Kembalilah putra mahkkota ini menemui si orang bijak. “Apa yang sudah engkau pelajari?” Tanya orang bijak. “Saya sudah belajar bahwa inti kepemimpinan adalah mendengarkan .” jawabnya “Lantas apa yang sudah engkau dengarkan?” “Saya sudah mendengarkan bagaimana burung-burung berkicau, air mengalir, angin berhembus serta serigala melolong di malam hari”jawabnya. “Kalau hanya itu yang engkau dengarkan berarti engkau belum memahami arti kepemimpinan. Kembalilah ke hutan dan tinggalah di sana satu tahun lagi,” kata si orang bijak.

Walaupun penuh keheranan, putra mahkota ini kembali mengikuti saran tersebut, setahun berlalu dan kembalilah ia kepada si orang bijak. “Apa yang sudah engkau pelajari,” Tanya orang bijak. “Saya sudah mendengarkan suara matahari memanasi bumi, suara bunga-bunga yang mekar merekah serta suara rumput yang menyerap air.” “Kalau begitu engkau sekarang sudah siap mengantikan ayahmu. Engkau sudah memahami hakekat kepemimpinan “ kata si orang bijak seraya memeluk sang puttrra mahkota

Syarat utama kepemimpinan adalah kemampuan mendengarkan. Manusia di ciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Ini adalah isyarat kita perlu mendengar dua kali sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didisain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Ini juga pertanda bahwa kita perlu lebih sering menutup mulut dan membuka telinga.

Semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain. Kita memiliki statement(pernyataan), tapi terlalu sedikit kemauan mendengakan pihak lain. Tetapi , mendengarkan dengan telinga baru merupakan tingkat pertama mendengarkan. Seperti yang ditunjukan cerita di atas, seoarng pemimpin bahkan dituntut untuk dapat memdengarkan hal-hal yang tak bisa didengarkan, menangkap hal–hal yang tak dapat di tangkap serta merasakan hal-hal yang tak dapat dirasakan oleh kebanyakan orang.

Sorang pemimpin perlu mendengarkan dengan mata. Inilah tingkat kedua memdengakan. Dalam proses komunikasi ada banyak hal yang tidak dapat dikatakan tapi sering ditunjukan dengan tingkah laku dan bahasa tubuh. Orang mungkin tidak mengatakan keberatan memenuhi permintaan anda, tapi bahasa tubuhnya menunjukan hal sebaliknya. Seorang karyawan yang merasa gajinya terlalu rendah mungkin tidak menyampaikan keluhannya dalam bentuk kata-kata tetapi dalam bentuk perbuatan Nah, kalau anda tidak dapat menangkap tanda-tanda ini. Anda belum memiliki kepakaan yang diperlukan sebagai pemimpin.

Tingkat ketiga adalah mendengarkan dengan hati. Inilah tangkat memdengarkan yang tertingi. Penyair Kahlil Gibran menggambarkan hal ini dengan mengatrtakan “ Adalah lebih baik untuk memberi jika di minta, tetapi jauh lebih baik bila memberi ta,mpa diminta.”Kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena penghayatan, rasa empati serta kepekaan kita akan kebutuhan oranng lain. Disini orang tidak perlu mengatakan atau menunjukan apapun, kitalah yang langsung dapat mengankap apa yang menjadi kebutuhannya. Komunikasi berlangsung dari hati kehati dengan mengunakan “kecepatan cahaya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar